Custom Search

25/07/08

Hijrahnya Ikan Kami

Hijrahnya Ikan Kami
Hasil Ikan di Pulau Sebatik; Dipasarkan di Tawau (GATRA/Heru Pamuji)
 
Gugusan bagan terlihat samar-samar di tengah laut. Menjelang malam, lampu-lampu di atas bagan berpendar-pendar bak kunang-kunang menari di atas permukaan air. Deretan bagan itu persis berada di dekat perbatasan Indonesia-Malaysia, di pesisir Pulau Sebatik. Penduduk Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, menyebutnya "wilayah seribu bagan".

Tonggak-tonggak kayu yang didirikan di tengah laut itu dibangun oleh nelayan Pulau Nunukan dan Sebatik. Selain bertujuan untuk menangkap ikan, deretan bagan itu pertanda bahwa areal lautan tersebut masuk dalam wilayah Indonesia. Setahun lalu, pendirian bagan ikan itu sempat memicu konflik dengan petugas pengamanan laut Malaysia. Beberapa nelayan Indonesia penunggu bagan sempat ditangkap tentara Malaysia, tapi kemudian dilepas. Suasana pun mereda hingga saat ini.

Persoalan di pesisir Nunukan dan Sebatik bukan sekadar urusan batas laut. Dua pulau terluar Indonesia itu juga menyimpan masalah perekonomian yang rumit. Meski termasuk wilayah Indonesia, aktivitas ekonomi di Nunukan dan Sebatik boleh dibilang dikuasai Malaysia. Simaklah penuturan Ramli, 49 tahun. Nelayan Desa Tanjung Karang, Pulau Sebatik, ini menjual hasil tangkapan ikannya ke Tawau, Sabah, Malaysia.

Ikan teri dan udang, misalnya, dijual ke pedagang di Tawau seharga M$ 7 per kilogram atau setara dengan Rp 19.600 per kilogram. Sedangkan jika dijual di Nunukan, hanya dihargai Rp 11.000 per kilogram. "Karena itu, kami terbiasa menjual semua hasil tangkapan ke Malaysia," kata Ramli. Selain harganya murah, menurut Ramli, menjual ikan ke Nunukan terlalu jauh, sehingga memerlukan ongkos besar. "Di sini juga tak ada yang menampung dan mengelola hasil tangkapan kami," ujarnya.

Menurut penuturan Bupati Nunukan, Abdul Hafid Achmad, hasil bumi Sebatik "lari" ke Tawau tanpa bisa dikontrol oleh pemerintah daerah setempat. Sebab menyeberang ke Tawau dari Pulau Sebatik hanya memerlukan waktu tak lebih dari 15 menit. Bandingkan dengan berperahu boat ke Nunukan yang membutuhkan waktu satu setangah jam. "Ketergantungan ekonomi penduduk Sebatik pada Malaysia terjadi karena hingga saat ini Sebatik belum banyak tersentuh pembangunan," ujar Abdul Hafid.

Kesenjangan ekonomi itulah, menurut Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Syamsul Maarif, yang menyebabkan terjadinya penyerapan hasil bumi Indonesia ke negeri jiran tanpa ada imbal balik yang memadai. "Kita sangat dirugikan karena Indonesia kehilangan peluang ekonomi yang sangat besar," ujar Syamsul. Posisi Indonesia pun jadi kian lemah dalam perdagangan di tingkat regional.

Dalam hitungan Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir DKP, Sudirman Saad, hasil perikanan yang "diselundupkan" ke Malaysia mencapai 200 ton per hari. Jumlah itu termasuk hasil tangkapan dari bagan-bagan yang dibangun di tengah laut tadi. "Komoditas perikanan itu dijual ke luar negeri tanpa ada pungutan pajak atau restribusi daerah," kata Sudirman.

Sebenarnya pemerintah daerah sudah mengeluarkan peraturan tentang retribusi perikanan yang dijual ke Malaysia. Namun peraturan daerah dari Pemerintah Kabupaten Nunukan itu membatasi kapal berbobot 10 GT ke atas yang dikenai retribusi. Toh, para cukong di Tawau lebih pintar. Mereka membiayai nelayan Indonesia dengan menyediakan kapal di bawah 10 GT, sehingga bebas retribusi. "Itu terjadi karena nelayan di Sebatik sangat bergantung pada kredit dari cukong-cukong di Tawau, yang kerap menerapkan sistem ijon," ungkap Sudirman.

Selaku pimpinan daerah, Abdul Hafid mengaku kesulitan mengontrol lalu lintas kapal ikan di sana. "Ada saja trik mereka untuk lolos dari petugas," katanya kepada Gatra. Modus pertama, seperti disebut tadi, yakni mengangkut ikan dengan kapal di bawah 10 GT. Jika menggunakan kapal besar, mereka cenderung menghindari jalur yang dipantau petugas. Akhirnya Indonesia tidak memetik pemasukan pajak yang signifikan dari ekspor perikanan ke Malaysia itu.

Yang dijual di Tawau tak hanya ikan, juga komoditas lain seperti hasil pertanian. Retribusi yang ditetapkan pemerintah daerah setempat hanya Rp 200 per kilogram untuk setiap komoditas. Itu pun, petugas kerap tak bisa mengutipnya dari para pedagang.

Kondisi itu akhirnya menjadi sebuah ironi. Di segenap pelosok Sebatik, seluruh barang kebutuhan pokok yang beredar berasal dari Malaysia. Penduduk Pulau Sebatik pun lebih suka bertransaksi dengan ringgit ketimbang rupiah. Alhasil, perekonomian masyarakat di Pulau Sebatik, pulau terluar Indonesia yang terletak di belahan utara Kalimantan Timur, sangat bergantung pada Malaysia.

Ketika Gatra bertandang ke pulau itu, pertengahan Juni lalu, rasanya seakan berada di wilayah Malaysia. Bahkan telepon genggam yang tadinya masih menggunakan operator seluler dalam negeri, serta-merta dan tanpa konfirmasi, langsung berada di bawah jangkauan operator Malaysia. "Welcome to Malaysia," begitu pesan singkat (SMS) dari operator Malaysia sesaat setelah masuk jaringan sinyal sang operator seluler negeri jiran itu.

Tawaran-tawaran diskon menggiurkan menyerbu lewat SMS tanpa bisa ditolak. Hal yang lebih mengenaskan terjadi jika sinyal telepon terkena roaming internasional. Padahal, jelas daerah itu berada dalam wilayah kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia.

Pengaruh perekonomian Malaysia tak hanya dijumpai di Sebatik, melainkan juga di Nunukan, bahkan hingga ke kota Tarakan. Sejumlah produk asal Malaysia marak diperdagangkan, dan ringgit menjadi alat tukar kedua di daerah-daerah itu. "Kami lebih mengenal produk Malaysia ketimbang Indonesia," tutur Saenah, pedagang di Pasar Sungai Nyamuk, Sebatik.

Pulau Sebatik seharusnya menjadi "gerbang terdepan" dan memiliki peran ekonomi strategis bagi negara. Namun, kenyataannya, daerah ini justru menjadi daerah terbelakang yang nyaris tidak tersentuh pembangunan. Jalan aspal, misalnya, banyak yang bolong-bolong. Listrik yang dikelola PLN byar-pet, sehingga diatur bergiliran antar-warga.

Listrik hanya bisa dinikmati dua hari sekali. Setiap malam, lampu di daratan Sebatik hanya bersinar remang-remang. Padahal, di Tawau yang berada di seberang sana --tampak jelas terlihat dari Sebatik-- suasananya bermandikan cahaya dengan deretan gedung menjulang.

Minimnya infrastruktur di Sebatik membuat investor enggan datang. "Sejumlah investor asing yang menawarkan modal ke Sebatik urung masuk karena persoalan listrik dan jalan," kata Asmar, Camat Sebatik. Akibatnya, industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan pun hingga kini belum terbangun. Bahkan tempat pelelangan ikan yang dibangun empat tahun lalu kini telantar.

Sedangkan di seberang sana, Pemerintah Malaysia terus menggenjot pembangunan di wilayah-wilayah perbatasannya. Malaysia membangun berbagai sarana dan prasarana, mulai pusat niaga, industri pengolahan cokelat dan sawit, pabrik es, industri pengolahan ikan, rumah sakit, hingga tempat hiburan. Kesenjangan ekonomi itu tampaknya membuat penduduk pulau terluar RI kepincut oleh kemegahan negeri jiran.

Karena itu, tim antar-departemen yang dikomandoi DKP mulai menggelar pembangunan terpadu di Sebatik. "Meski sulit mengejar ketertinggalan dengan negeri jiran, upaya membangun pulau terluar harus tetap dijalankan. Tidak hanya Sebatik, melainkan juga seluruh pulau terluar Indonesia," ujar Syamsul.

Heru Pamuji
[Ekonomi, Gatra Nomor 34 Beredar Kamis, 3 Juli 2008]
http://gatra.com/artikel.php?id=116421

Dapatkan informasi terkini, terupdate, berimbang dan bertanggung jawab dari seluruh informasi di Indonesia di milis :
Newspaper-Indonesia@yahoogroups.com & SuratKabar-Indonesia@yahoogroups.com 

Search Engine Terpopuler Milik Anak Bangsa
Custom Search