Custom Search

20/08/08

Ditanya Soal Agus Condro ; Miranda: Tidak Ada Tanggapan

Jakarta, 21 Agustus 2008 08:36
Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom menolak memberikan tanggapan atas pengakuan anggota DPR dari Fraksi PDIP Agus Condro yang mengatakan menerima uang Rp500 juta usai pemilihan posisi DGS itu pada tahun 2004.

"Saya tidak ada tanggapan, karena saya memang tidak tahu. Lebih baik ditanyakan kepada mereka yang memberikan pernyataan," kata Miranda, saat ditemui di Gedung BI, Jakarta, Rabu (20/8).

Miranda menolak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai pengakuan Agus Condro itu dan meminta wartawan untuk menanyakan hal itu kepada yang bersangkutan.

Sebelumnya, anggota Komisi II dari FPDIP Agus Condro mengakui pada tahun 2004 menerima dana sebesar Rp500 juta dari rekan fraksinya Dudi Makmun Murod dalam bentuk travelers chek beberapa hari setelah pemilihan DGS yang dimenangkan oleh Miranda.

Dalam proses pemiihan itu, Miranda bersaing dengan Hartadi A Sarwono dan Budi Rochadi.
 
[EL, Ant]

Kesaksian Mantan Pejabat BI ; BI Gelontorkan Dana ke DPR Sejak 1970-an

Jakarta, 20 Agustus 2008 14:56
Mantan Kepala Biro Gubernur Bank Indonesia (BI), Rusli Simanjuntak mengungkapkan, penggelontoran uang ke sejumlah anggota DPR sudah biasa dilakukan BI sejak 1970-an.

"Itu berlangsung sejak kira-kira tahun 1970-an," kata Rusli ketika bersaksi dalam perkara aliran dana BI Rp100 miliar kepada sejumlah anggota DPR dan mantan pejabat BI di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Rabu (20/8).

Dalam sidang dengan terdakwa mantan Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah itu, Rusli menjelaskan kronologi aliran ke DPR.

Rusli mengaku memberikan uang Rp31,5 miliar kepada Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandu, keduanya menjadi anggota Komisi IX DPR pada 2003.

Pemberian itu terjadi dalam lima tahap. Tahap pertama adalah penyerahan uang Rp2 miliar di hotel Hilton Jakarta pada 27 Juni 2003.

Penyerahan tahap kedua terjadi pada 2 Juli 2003 di rumah Antony berupa penyerahan uang sebesar Rp5,5 miliar.

Kemudian, terjadi penyerahan uang sebesar Rp7,5 miliar di hotel Hilton, yang dilanjutkan dengan penyerahan uang Rp10,5 miliar di rumah Antony pada September 2003.

Tahap akhir terjadi pada Desember 2003 berupa penyerahan uang Rp6 miliar di rumah Antony.

"Semuanya tanpa tanda terima," kata Rusli menjawab pertanyaan hakim Hendra Yospin.

Kemudian Yospin bertanya kepada Rusli apakah BI sudah biasa memberikan uang tanpa meminta tanda terima.

Terhadap pertanyaan itu Rusli mengatakan, BI memperlakukan DPR berbeda dengan pihak lain. Menurut dia, BI tidak pernah minta tanda terima setiap kali mengalirkan uang kepada DPR. Padahal, BI selalu mendapat tanda terima bila memberi uang kepada pihak lain, seperti yayasan atau panti asuhan.

"Susah saya menjawabnya Pak, itu sudah kelaziman," kata Rusli menjawab pertanyaan Yospin tentang kebiasaan bank sentral itu.

Rusli menambahkan, kebiasaan mengalirkan dana ke DPR itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Dia memprediksi, jika kasus aliran dana BI tidak terungkap, kebiasaan itu mungkin masih terus berlanjut.

Namun dalam kesaksiannya, Rusli tidak merinci apakah aliran uang ke DPR sejak 1970-an itu merupakan inisiatif BI atau atas permintaan DPR.

Kasus aliran dana BI telah menjerat lima orang tersangka, yaitu mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan Deputi Direktur Hukum BI Oey Hoy Tiong, mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simandjuntak, mantan anggota DPR Antony Zeidra Abidin, dan anggota DPR Hamka Yandu.

Berdasar laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kasus dana BI bermula ketika rapat Dewan Gubernur BI yang dipimpin Burhanuddin Abdullah mengeluarkan persetujuan untuk memberikan bantuan peningkatan modal kepada Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar.

Oey diduga menyerahkan dana YPPI sebesar Rp68,5 miliar kepada pejabat BI yang saat itu terjerat kasus hukum dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yaitu Gubernur BI Soedrajad Djiwandono, Deputi Gubernur BI Iwan R Prawiranata, dan tiga Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo.

Pada pemeriksaan di KPK, Oey mengaku menyerahkan uang tersebut kepada para mantan pejabat BI. Namun, Oey mengaku tidak tahu lagi ke mana uang tersebut setelah diserahkan kepada mereka.

Sedangkan uang senilai Rp31,5 miliar diduga diberikan oleh Rusli Simandjuntak dan Asnar Ashari kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003 untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI.

[TMA, Ant]
http://gatra.com/artikel.php?id=117654

Abdillah Toha: Kasus Al Manar Bukti Kemunafikan AS

Jakarta (ANTARA News) - Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen DPR RI, Abdillah Toha, menegaskan, kasus televisi Al Manar menjadi bukti kemunafikan Pemerintah Amerika Serikat yang mempraktikkan demokrasi di dalam negeri, tetapi otoriter dalam kebijakan luar negerinya.

Hal itu dikemukakan Abdillah Toha kepada ANTARA di Jakarta, Rabu malam, ketika mengomentari permintaan Amerika Serikat (AS) yang meminta PT Indosat Tbk agar memutus kontrak sewa transponder televisi Al Manar.

Permintaan AS itu berkaitan dengan dugaan pihak intelijen tentang keterlibatan stasiun televisi Al Manar milik Hizbullah di Lebanon yang mendukung jaringan teroris.

Selama ini Al Manar menggunakan jasa Satelit Palapa C2 milik Indosat, yang berkedudukan di Indonesia.

"Kalau Indosat mengikuti kemauan AS itu ada dua konsekuensi yang terjadi," kata Abdillah Toha.

Pertama, menurutnya, Al Manar akan menggugat di Pengadilan karena memutuskan kontrak tanpa alasan.

Kedua, Indosat akan menghadapi protes dan gugatan masyarakat Indonesia sendiri, terutama dari kalangan muslim, karena mengikuti tekanan AS.

"Hal ini sekali lagi membuktikan kemunafikan Pemerintah AS yang mempraktikkan demokrasi di dalam negeri, tetapi sangat otoriter dalam kebijakan luar negerinya," tandasnya.

Selain itu, lanjutnya, ini merupakan sebuah bukti lagi, politik luar negeri AS dikendalikan oleh lobi Israel di sana.

"Al Manar ini adalah media perjuangan melawan penindasan Israel, dan Hizbullah yang dikategorikan sebagai teroris oleh Pemerintah AS adalah para pejuang kemerdekaan, sama dengan para pejuang kita dahulu yang dikategorikan ekstremis oleh penjajah Belanda," tegas Abdillah Toha.

AS Jangan Paranoid

Sebelumnya, secara terpisah Wakil Ketua Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Bulan Bintang, Yusron Ihza Mahendra, mengingatkan Amerika Serikat agar tak perlu lagi paranoid dan curiga terhadap Indonesia serta dunia Islam.

"Saya juga mohon AS tidak bias menilai bahwa Islam sama dengan teroris," tandasnya.

Selanjutnya, ia meminta AS agar tidak menjadi penghambat kebebasan informasi sebagai salah satu bagian strategis dalam kehidupan berdemokrasi yang baik.

"Kita diharapkan berdemokrasi dan itu kita jalankan, termasuk juga dalam hal keterbukaan informasi. Karenanya, saya juga inginkan masyarakat kita mendapat informasi bukan secara sepihak dan bukan dari sumber terbatas," tandas Yusron Ihza Mahendra lagi.

Dalam pandangannya, masyarakat harus diberi kebebasan memperoleh informasi secara transparan.

"Saya juga yakin masyarakat kita cukup dewasa menilai informasi. Karenanya berikan saja kebebasan kepada mereka untuk memperoleh informasi dan biarkan transparan," katanya lagi.
 
(*)
Custom Search