Custom Search

12/08/08

Sidang Kecelakaan Garuda ; Pilot Ceroboh Mana Pasalnya

Mengenakan seragam kebanggaannya, celana hitam, kemeja putih dengan pin berbentuk sayap tersemat di dada kirinya, Kapten Pilot Marwoto Komar duduk tenang dengan matanya tajam lurus ke depan. Namun ia tak sedang berada di dalam kokpit pesawat terbang. Mantan pilot Garuda yang mengantongi pengalaman lebih dari 15.000 jam terbang itu duduk di kursi terdakwa di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Yogyakarta, Kamis pekan lalu.

Pada hari itu, Marwoto menghadapi dakwaan terkait dengan musibah Pesawat Boeing 737-400 Garuda di Bandar Udara (Bandara) Adisucipto, Yogyakarta, 7 Maret 2007. Ketika mendarat, pesawat yang dikemudikannya bergelincir keluar landasan pacu dan terbakar. Akibatnya tragis: 21 penumpang meninggal. Tentu saja ini bukan musibah pertama dalam dunia penerbangan Indonesia. "Tapi baru kali ini pilot diseret ke meja hijau karena kecelakaan," kata Jaksa Djamin Susanto kepada Gatra.

Posisi pilot memang repot. Dalam kasus kecelakaan Lion Air di Solo (November 2004), jatuhnya pesawat Mandala Air di Medan (September 2005), dan hilangnya AdamAir di Selat Makassar (Januari 2007), para pilotnya tak mungkin dimintai pertanggungjawaban. Mereka ikut tewas bersama penumpang lainnya. Namun kali ini, ketika cuaca, mesin, dan sistem navigasi tak bisa dipersalahkan, Kapten Marwoto harus menjalani persidangan.

Pada saat sidang berlangsung, istri Marwoto, Noorman Andriani yang duduk di deretan kursi pengunjung, menyimak setiap kalimat jaksa yang membeberkan kelalaian suaminya. Menurut jaksa, ketika menerbangkan pesawat dengan nomor penerbangan GA 200, Marwoto mengabaikan saran kopilot, Gagam Saman Rohmana. Pada saat itu, kopilot memperingatkan pilot agar menunda pendaratan karena pesawat masih berada di ketinggian 5.000 kaki.

Menurut standard operational procedure, pendaratan baru boleh dilakukan jika pesawat berada pada ketinggian 4.000 kaki. "Yang terjadi, pada ketinggian 5.000 kaki, terdakwa justru mendaratkan pesawat. Akibatnya, kecepatan pesawat tak terkendali," kata Jaksa Djamin Susanto. Marwoto dianggap telah berlaku ceroboh.

Karena itulah, jaksa mendakwa Marwoto sengaja melanggar hukum dengan cara menghancurkan pesawat hingga mengakibatkan lenyapnya nyawa orang lain. Ia lantas dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 479 (f) huruf a dan b, Pasal 479 (g), serta pasal 359 dan 360 ayat 1 KUHP. Sanksinya berat. Jika terbukti, Marwoto bisa terancam hukuman seumur hidup.

Usai pembacaan dakwaan, majelis hakim yang dipimpin Herri Swantoro menanyakan apakah terdakwa mengerti atas isi dakwaan. Marwoto menjawab: "Ya. Saya mengerti dakwaan itu. Tapi saya menolak dakwaan itu," ujarnya. Sementara itu, tim kuasa hukum Marwoto yang dikomandani pengacara senior, Moh. Assegaf, menganggap dakwaan jaksa tidak nalar. "Mana mungkin ada pilot sengaja menghilangkan nyawa penumpangnya," kata Assegaf.

Kalaupun ada kelalaian yang dilakukan, menurut pengacara yang dibesarkan di LBH Jakarta itu, seharusnya kliennya dijerat dengan Undang-Undang (UU) Penerbangan (UU Nomor 15 Tahun 1992), bukan dengan KUHP. Menurut Assegaf pula, penggunaan UU Penerbangan lebih tepat, karena undang-undang itu pun mengatur ketentuan pidana bagi pilot yang melakukan tindakan yang dianggap membahayakan penumpang pesawat.

Beberapa pasal dalam UU Penerbangan memang mengatur sanksi pidana. Tapi sanksi yang diatur dalam UU Penerbangan jauh lebih ringan daripada sanksi pada KUHP. Misalnya, Pasal 60 undang-undang itu menyebut, barang siapa yang menerbangkan pesawat hingga membahayakan keselamatan penumpang akan dikenai sanksi pidana maksimum lima tahun penjara.

Meski diakui bahwa sanksi pidana dalam UU Penerbangan jauh lebih ringan, Assegaf menolak jika ringannya sanksi menjadi alasan tim kuasa hukum menolak klien mereka didakwa dengan pasal KUHP. "Bukannya ringan atau beratnya sanksi pidana, melainkan apa gunanya undang-undang dibuat kalau tidak dilaksanakan," katanya. Apa pun hukumnya, kecerobohan itu amat mahal harganya.

Sujud Dwi Pratisto, dan Arif Koes Hernawan (Yogyakarta)
[Hukum, Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 7 Agustus 2008]
Custom Search