Custom Search

12/08/08

Kongres AS tak Perlu Ditanggapi ; Surat Kongres AS menjadi test case sikap Pemerintah AS dan Presiden SBY

JAKARTA -- Pemerintah diminta tidak menanggapi apalagi menuruti permintaan 40 anggota Kongres AS untuk membebaskan dua pentolan gerakan separatis. Permintaan itu dinilai sebagai bentuk intervensi atas kedaulatan RI serta memperlihatkan ketidakpahaman--bahkan kebodohan--atas sistem hukum dan HAM di Indonesia.

Sebelumnya, 40 anggota Kongres AS melayangkan surat meminta pembebasan ''segera dan tanpa syarat'' dua anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), Filep Karma dan Yusak Pakage. Keduanya mengibarkan bendera bintang kejora di Abepura, 1 Desember 2004. Pada Mei 2005, pengadilan menjatuhkan hukuman penjara 14 tahun kepada keduanya.

Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, meminta pemerintah tegas menolak permintaan itu. Hidayat heran terhadap anggota kongres dari sebuah negara yang mengaku menghargai demokrasi dan kedaulatan negara lain, bisa mengirimkan surat yang arogan dan tidak mencerminkan penghormatan pada negara sahabat.

Munculnya surat itu, dinilai Hidayat, memperlihatkan lemahnya diplomasi Indonesia di Kongres AS. Tapi, surat itu dinilainya bisa menjadi test case bagi AS dan Presiden Yudhoyono. Bila Pemerintah AS mendukung kedaulatan RI, dia yakin Pemerintah AS akan menolak surat itu. Presiden pun akan bisa dilihat sikapnya: berani menolak atau sebaliknya.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, meminta Presiden tak menggubris surat itu. ''Pemerintah harus tegak dalam penegakan hukum. Apalagi, ini menyangkut martabat kita,'' kata Din usai memberikan ceramah pada acara tabligh akbar di Masjid Al Jihad, Jakarta, kemarin.

Ketua Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, menilai, surat itu memperlihatkan AS merasa boleh menjadi polisi bagi negara lain. Anas berpendapat, Presiden tak perlu menanggapinya. ''Jika pun ditanggapi, materinya adalah mengajarkan prinsip hubungan antarnegara yang baik dan saling menghargai.''

Anggota Komisi I DPR, Hajriyanto Y Thohari, menilai, surat 40 anggota Kongres AS itu menunjukkan kebodohan mereka. Sebab, Karma dan Pakage hanya mungkin bebas melalui mekanisme hukum, seperti kasasi dan peninjauan kembali. ''Menyuruh Presiden mengintervensi hukum, terlarang dalam sistem demokrasi,'' kata anggota Partai Golkar ini.

Belum sampai
Sebelumnya, Duta Besar Indonesia untuk AS, Sudjadnan Parnohadiningrat, menyatakan, Kongres AS mengirimkan surat itu ke KBRI. Surat bertanggal 29 Juli 2008 itu telah diteruskan ke Jakarta. Tapi, hingga Ahad (10/8), belum sampai di Sekretariat Negara. ''Belum ada. Kita tunggulah,'' kata Menteri Sekretaris Negara, Hatta Rajasa.

Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda, menyatakan akan segera membalas surat itu. Isinya akan meminta AS menghormati putusan hukum dan menjelaskan prinsip HAM di Indonesia, ''Perbuatan kedua separatis ini meresahkan dan masuk dalam tindakan pembangkangan terhadap apa yang disepakati bersama sebagai NKRI.''

Kedubes AS di Jakarta, kemarin, mengeluarkan pernyataan. Isinya, Pemerintah AS mendukung kedaulatan dan integritas RI serta tidak mendukung gerakan separatis di seluruh wilayah RI, termasuk Papua. Pemerintah AS mendukung penerapan UU No 21/2002 mengenai Otonomi Daerah di Papua dan Papua Barat, untuk menghapus kekecewaan warga Papua.

Pemerintah AS menyatakan akan bekerja sama dengan Pemerintah RI dan Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat untuk mencari cara mengatasi tantangan pembangunan dan lingkungan. Pemerintah AS dan RI juga bekerja sama memberi perlindungan dan mempromosikan HAM, termasuk meningkatkan pertanggungjawaban pelanggaran HAM di masa lalu.

Sampai kemarin, protes atas surat 40 anggota Kongres AS itu terus bermunculan. Antara lain, dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). ''AS menginginkan Indonesia terpecah. Buktinya telah nyata. Mereka mendukung separatis,'' teriak pengurus HTI Surabaya, Ibnu Ali, di depan Konjen AS yang disambut pekik ''Allahu Akbar''.
 
c64/uki/ant
(-)
Custom Search