Custom Search

24/08/08

Warga Bojonegoro dan Tuban Mulai Konsumsi Nasi Aking

TEMPO Interaktif, BOJONEGORO:Nasi aking, atau kerak nasi yang kemudian dimasak dan dikeringkan kembali, laris dijual di sejumlah pasar tradisional di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban.
 
Di pasar Besar Bojonegoro dan pasar Banjarejo, nasi aking dijual Rp 1.700 hingga Rp 1.800 perkilogram. Penjualan nasi aking terjadi bersamaan dengan tibanya musim kering. ''Maklum, harganya lebih murah dari beras,'' kata Mutiah, salah seorang pedagang beras di pasar Bojonegoro, Selasa siang (13/8). Dalam sehari terjual 60 hingga 70 kilogram.
 
Pedagang membeli kerak nasi dari pengepul yang mengumpulkannya dari warga. Harga jual dari penegepul Rp 1.000 hingga Rp 1.200 perkilogram. Tidak hanya kerak yang dikumpulkan, tapi juga nasi-nasi sisa, bahkan nasi busuk yang telah dipenuhi jamur.
 
Selain nasi aking, juga laris penjualan gaplek, sebagai pengganti beras, jagung, maupun beras murah untuk kelompok miskin (raskin). Pedagang mendapatkan gaplek dari petani di Bojonegoro bagian selatan, seperti Kecamatan Bubulan, Temayang, Turi, Gondang dan Tambakrejo.
 
Nasi aking juga diminati masyarakat di Tuban. Di pasar Rengel dan pasar Soko, nasi aking juga menjadi alternative pengganti beras. Harganya tidak jauh berbeda dengan di Bojonegoro, rata-rata Rp 1.800 perkilogram. Selain nasi aking, warga juga mulai mencampur beras dengan jaung. ''Beli nasi aking atau beras campur jagung untuk mengirit biaya hidup,'' kata Rumaji, warga Soko, Tuban.
 
Namun, Kepala Badan Ketahanan Pangan Bojonegoro, Andreas Wahyono, mengatakan stok pangan di daerah itu mencukupi hingga April 2009. Ia merinci dari total produksi gabah kering panen 650 ribu ton pertahun, atau setara dengan 350 ribu ton beras, hanya sekitar 120 ribu ton yang dikonsumsi masyarakat. Sisanya, sebanyak 230 ribu ton masuk kategori angka surplus. Tapi, Andreas tidak memungkiri bahwa saat ini terjadi penurunan daya beli di masyarakat.
 
Secara geografis di Bojonegoro terdapat 18 kecamatan dari 27 kecamatan di daerah itu, yang masuk kawasan kering. Sawahnya merupakan sawah tadah hujan. Pada saat musim kering tiba, masyarakatnya mencari ranting kayu di hutan untuk tambahan biaya hidup, sehingga berdampak pada daya beli masyarakat. ''Masyarakat lalu mengkonsumsi apa adanya, termasuk nasi aking, gaplek, jagung dan sejenisnya,'' katanya.
 
Sujatmiko
Custom Search