Custom Search

24/08/08

Darmin Nasution : Jangan Takut Dijebak Aparat Pajak

Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak. Modernisasi administrasi seperti e-filing dan e-payment, serta pembentukan kantor modern, dilakukan untuk menggenjot rasio penerimaan pajak yang kini berada pada kisaran 13%. Hasil perbaikan ini memang cukup terasa. Tahun ini, penerimaan pajak meningkat dari lima tahun sebelumnya.

Namun, di sisi lain, kasus-kasus penggelapan pajak juga masih saja terjadi. Stigma miring terhadap pajak dan aparat pajak yang kerap memeras wajib pajak masih pula terdengar. Untuk mengatasi persoalan ini, Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengaku sudah memperketat sistem pengawasan terhadap aparat pajak. "Kalau ada yang menyimpang, segera laporkan!" kata Darmin.

Meski begitu, terhadap wajib pajak, pria kelahiran Tapanuli, Sumatera Utara, 21 Desember 1949, itu mengaku akan lebih mengedepankan cara-cara persuasif agar wajib pajak tak takut melaporkan pajaknya. Berikut petikan wawancara Anthony Djafar dan pewarta foto Wisnu Prabowo dari Gatra dengan Darmin Nasution di ruang kerjanya, lantai III Gedung Dirjen Pajak, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa pekan lalu.

Perbaikan apa saja yang tengah dilakukan Ditjen Pajak untuk menggenjot pendapatan dari pajak?

Kami tengah melakukan perombakan kebijakan pajak, seperti amandemen Undang-Undang (UU) Pajak. Salah satunya adalah soal keseimbangan antara hak dan kewajiban petugas pajak dengan wajib pajak. Kami juga melakukan percepatan modernisasi administrasi perpajakan, perombakan organisasi, perbaikan metode kerja, peralatan bekerja, perbaikan gaji dan sumber daya manusia.

Semua itu dilakukan untuk menghilangkan kesan-kesan yang bersifat negatif, juga memperbaiki iklim usaha, khususnya dalam hal perpajakan. Kami juga melakukan intensifikasi, seperti menyusun profil wajib pajak untuk mengetahui apakah mereka patuh bayar pajak atau belum. Pimpinan Ditjen Pajak pun punya alat untuk memonitor cara kerja aparat pajak di lapangan. Dengan adanya profiling itu, kami bisa mengukur apakah kinerja aparat pajak sudah optimal atau belum.

Kini Ditjen Pajak menerapkan sunset policy. Kenapa baru sekarang digencarkan, apa karena wajib pajak sudah terlalu banyak yang membandel?

Penerapan sunset policy ini lebih banyak menyangkut masa lalu, bukan masa depan. Wajib pajak yang membetulkan pembayaran pajaknya cukup membayar pokoknya. Sanksi ataupun dendanya tidak dikenakan. Pemberlakuan itu, bagi wajib pajak yang terdata pajaknya tahun 2007 diberi kesempatan hingga Desember 2008.

Sedangkan wajib pajak baru masih dibolehkan sampai Maret 2009. Jadi, kami tidak mempersoalkan pajak lain, hanya pajak penghasilan. Bagi mereka yang belum jadi wajib pajak tapi sudah memenuhi syarat, silakan menguruskan NPWP, mengajukan SPT. Semuanya itu kami beri fasilitas agar nanti tidak diperiksa lagi laporan pajaknya. Jangan ada kesan, apabila melapor, justru diperiksa. Itu tidak akan terjadi. Kami jamin.

Kenapa tidak sekalian tax amnesty atau pengampunan pajak?

Kalau namanya pengampunan, itu bukan cuma urusan sanksi denda yang diampuni, tarifnya juga lebih rendah. Tax amnesty itu lebih besar prioritasnya dibandingkan dengan sunset policy. Cuma, untuk mempersiapkan tax amnesty itu, harus dibuat undang-undang tersendiri. Itu akan jadi perdebatan panjang. Bisa saja nantinya muncul pandangan, bagaimana kalau orang yang mengakui hartanya, apakah dapat dibebaskan atau dipidana pajak saja? Bagaimana dengan uang hasil korupsi atau money laundering?

Kenapa sunset policy hanya menyangkut pajak penghasilan (PPh), bukan pajak lainnya?

Karena pajak penghasilan itu ditanggung sendiri oleh si wajib pajak, bukan yang lain. Beda dengan PPN (pajak pertambahan nilai), misalnya. Itu melibatkan orang lain. Sunset policy tujuannya penyederhanaan, agar orang mau membuka diri menyampaikan informasi apa adanya. Nah, dengan begitu, berarti sistem informasi sudah berjalan dengan benar.

Ada yang menganggap, penerapan ini justru menjebak wajib pajak. Artinya, lebih baik menyimpan duitnya di bawah bantal ketimbang melaporkan SPT pajaknya?

Ya, bisa saja anggapan itu benar. Tapi perlu diingat bahwa Ditjen Pajak punya sistem data yang makin canggih. Jauh sebelum penerapan sunset policy ini, kami mempersiapkan kelengkapan teknologinya. Makanya, lebih baik jujur saja atau mending mengaku sekarang dan segera membetulkan surat pemberitahuan pajak (SPT)-nya. Kalau ternyata tidak dibetulkan dan sudah diberikan kesempatan itu, wajib pajak sendiri yang repot nantinya.

Bukankah ini dapat melahirkan kolusi baru antara aparat pajak dan wajib pajak?

Kalau soal kongkalikong, tanpa sunset policy juga bisa dilakukan. Kami melaksanakan sunset policy setelah modernisasi administrasi perpajakan dilakukan. Aparat kami sudah siap. Metode kerjanya diawasi. Aparat kerja kami sudah menandatangani kode etik. Memang belum 100% ideal, tetapi sudah ada perbaikan. Kami percaya, aparat kami akan jauh lebih baik. Wajib pajak jangan khawatir aparat pajak menjebak ataupun terjadi kolusi karena mereka dimonitor.

Kalaupun ada yang macam-macam, silakan laporkan, karena tidak ada jaminan aparat pajak yang jumlahnya 32.000 itu bersih semua. Nah, kalau ada yang menyimpang, tolong segera dilaporkan supaya kita luruskan. Kalau tidak bisa, kita pidanakan.

Bagaimana menyelesaikan wajib pajak yang bertindak nakal?

Mereka yang nakal sudah cukup banyak disidik dan diproses di pengadilan, walaupun belum cukup besar. Mereka yang ketahuan merancang kebohongan, memanipulasi data, akan kami periksa. Makanya, kami ingatkan, jangan berani manipulasi. Kalau masih bisa diselesaikan dengan baik-baik, kenapa mesti menyidik. Tapi, jika membandel, ya, kami periksa. Kalau perlu, kami sidik.

Penduduk Indonesia 200 juta lebih, tapi kenapa wajib pajaknya hanya di kisaran 6 juta?

Sekarang ini memang lebih kurang 6 juta wajib pajak. Kami memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia 220 juta, terdiri dari 55 juta keluarga. Idealnya, 27 juta yang punya NPWP. Kelihatannya tidak bisa digenjot lagi karena penghasilan tidak kena pajak (PTKP) orang pribadi (OP) kita sangat tinggi. Sudah dinaikkan 15,84 juta setahun. Jika besarnya PTKP dibandingkan dengan pendapatan per kapita yang mencapai 72,9%, ini sangat tinggi ketimbang negara lain, seperti Filipina 13,8%, Malaysia 17,78%, dan Cina 5,7%. Nah, kalau ingin ditambah, susah. Kita lihatlah dua-tiga bulan ini, baru bisa kita bicara lagi.

Negara maju lebih mengedepankan pungutan pajak, apakah arah kita juga demikian?

Langkah yang kita lakukan ini sudah makin mendekati apa yang dicapai negara maju. Memang, pada saat ini belum sekaligus sama. Kendalanya, kita sudah terbiasa berusaha menghidari bayar pajak. Malah ada yang berusaha bayar pajak semurah-murahnya. Nah, mengubah budaya seperti ini sulit dan perlu waktu. Tapi, kita berharap, jangan lama-lama mengubahnya.

Selama ini, banyak orang enggan membayar pajak karena hasilnya tetap saja dianggap kecil. Komentar Anda?

Lima tahun lalu, penerimaan pajak paling naiknya rata-rata 18% setahun. Sampai Juni lalu, pendapat pajak naik 50%. Memang ada anggapan bahwa penerimaan pajak itu sudah jumlahnya sedikit, dikorupsi lagi. Tapi ingat, uang dari wajib pajak tidak pernah disimpan di kantor pajak, melainkan di Bank Indonesia lewat kas negara.

Yang mampir di kantor pajak itu hanya laporan sudah bayar pajak atau belum. Pada saat ini, jumlah wajib pajak sudah bagus, walaupun masih bisa diperbaiki agar lebih bagus. Sesuai dengan rencana APBN, nilai pajak sebesar Rp 534 trilyun. Harapan kami, mencapai kira-kira Rp 550 trilyun. Jika dihitung 360 hari selama setahun, berarti jumlah penerimaan pajak setiap hari sekitar Rp 1,5 trilyun. Jadi, salah jika ada anggapan masyarakat bahwa seolah-olah penerimaan pajak kecil.

[Laporan Utama, Gatra Nomor 39 Beredar Kamis, 7 Agustus 2008]
http://gatra.com/artikel.php?id=117406
Custom Search