Custom Search

18/08/08

Kepalan Indonesia di Selat Ombai

Pemerintah Kabubaten Kupang menancapkan bendera Merah Putih di Pulau Batek, Nusa Tenggara Timur. Takut direbut Timor Loro Sa'e?
TAK berpenghuni, tapi begitu berarti. Itulah Pulau Batek. Ibarat Sipadan dan Ligitan, di nusa kecil di wilayah Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, ini kedaulatan Indonesia kembali dipertaruhkan.

Nelayan yang melaut di sekitar Batek kerap melihat anggota pasukan pemelihara keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Loro Sa'e berkunjung kemari. Mereka datang dengan kapal besar dan modern. Bahkan, akhir tahun lalu, beberapa pejabat negara tetangga itu menjejak pulau ini.

Boleh jadi mereka sekadar berwisata. Tapi, bagi Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur, kedatangan mereka ke sana bisa memicu sengketa Indonesia dan Timor Loro Sa'e. "Kita harus mengamankan Pulau Batek, jangan sampai dimanfaatkan pihak asing," kata Wakil Bupati Kupang, Friets Djubida, kepada Yusak Riwu Rohi dari Tempo News Room.

Khawatir bakal kembali kehilangan pulau, Friets datang ke Batek pekan lalu bersama Kolonel Sulaiman B. Nahor, Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut Kupang. Di sana, mereka menancapkan bendera Merah Putih pada sebatang bambu yang diikatkan ke sisi mercu suar.

Mercu suar? Ya. Sejak Timor Timur belum merdeka, Indonesia sudah membangun mercu suar itu. Menara pemandu kapal bercat putih yang sudah mulai buram itu, bertingkat empat, tepat berada di punggung bukit. Sepanjang tahun, si menara sepi sendiri tak berpenjaga.

Namun justru mercu suar itu yang menjadi satu-satunya penanda kedaulatan Indonesia atas Pulau Batek. Selebihnya, Batek merupakan pulau kosong dengan sedikit rumpun pohon asam tempat burung rajawali bersarang dan ayam hutan bertengger. Di pantainya banyak terdapat lubang tempat penyu bertelur.

Seluas hanya tiga hektare, Pulau Batek seperti kepalan tangan yang menyembul dari Selat Ombai, selat kecil di sela Pulau Timor dan Kepulauan Nusa Tenggara. Pulau ini bisa dicapai dengan empat jam perjalanan laut dari Pelabuhan Tenau, Kupang. Letaknya hanya sekitar lima mil dari garis pantai Oepoli, Kabupaten Kupang, lebih jauh dari jarak ke Oekusi, ibu kota Distrik Ambenu, Timor Loro Sa'e, yang hanya dua mil. Bisa jadi karena pulau ini terletak di perbatasan, para nelayan menyebutnya Batek?yang berarti "batas" dalam bahasa setempat.

Menurut Friets Djubida, pemerintah Kabupaten Kupang hendak menjadikan Pulau Batek sebagai lokasi wisata alam karena hamparan pasir putih yang mengitarinya. "Kita akan segera membangun vila-vila kecil di sana," katanya. Ia juga akan melepas monyet hutan untuk "menjaga" pulau ini. Sedangkan pihak TNI Angkatan Laut berjanji akan berpatroli rutin di sekitarnya.

Sejak lepasnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, perhatian pada pulau-pulau Indonesia di perbatasan yang diduga rawan lepas ke negara jiran langsung mencuat. Departemen Kelautan dan Perikanan mencatat ada 88 pulau kecil di pinggiran Indonesia yang berpotensi hilang. Memang beberapa di antaranya terancam lenyap karena permukaannya digerus para pedagang pasir, tapi terbanyak karena letaknya di batas teritorial Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Filipina, Palau, India, Australia, Papua Nugini, Vietnam, dan Timor Loro Sa'e.

Kekhawatiran itu ditepis Departemen Luar Negeri, yang yakin tak ada lagi sengketa kepemilikan pulau yang melibatkan Indonesia dengan negara tetangganya. Menurut Hassan Wirajuda, yang perlu dilakukan saat ini adalah negosiasi penentuan batas perairan wilayah?jadi bukan soal status kepemilikan pulau-pulau. "Sudah jelas pulau-pulau itu milik Indonesia. Jangan campur-adukkan status belum ditentukannya batas laut dengan status kepemilikan pulau," kata Menteri Luar Negeri RI itu.

Pulau Pasir dan dua pulau kecil di Celah Timor, misalnya, berkondisi kebalikan dari pulau Batek. Pulau-pulau ini adalah tempat nelayan tradisional Indonesia mencari tripang sejak ratusan tahun silam. Tapi, seperti kata Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda, secara de jure adalah milik Australia. Pulau Pasir bahkan telah menjadi kawasan cagar alam negeri itu, dan nelayan Indonesia dilarang melaut di dekatnya. Ketiganya pun sudah beroleh nama baru dari penguasanya: Ashmore untuk Pulau Pasir, Hibernia dan Cartier buat dua pulau lainnya.

Tomi Lebang
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/01/20/NAS/mbm.20030120.NAS84355.id.html
Custom Search