Ari Saputra - detikNews
Foto: Ari Saputra/detikcom
Jakarta - Hawa pagi belum sepenuhnya pergi saat jarum jam menunjuk pukul 05.30 WIB. Suharti (45) masih memicingkan mata untuk beraktifitas sehari-hari, menjadi buruh mencuci. Hanya saja, ada yang tidak biasa diluar rumah gubugnya itu. Ribuan petugas Satpol PP dan polisi menyeruak dari truk-truk yang mengangkut mereka, bersenjatakan tameng dan pentungan lengkap.
"Saya sudah menduga kami akan digusur. Tapi kok sepagi ini," kata Suharti dilokasi penggusuran pemukiman liarnya, Taman BMW (Bersih, Manusiawi dan Berwibawa), Jl RE Marthadinata, Jakarta Utara, Minggu (24/8/2008).
Bagi Suharti, menghentikan derap sepatu boot itu hanya mimpi. Tubuhnya yang kecil dan tenaganya yang tidak seberapa, memaksa Suharti hanya mampu menangisi rumahnya yang mulai digusur.
"Seminggu lalu, warga masih sempat merayakan tujuhbelasan (HUT RI ke-63) dengan ramai. Ada lomba-lomba. Lomba makan kerupuk dan sebagainya. Pokoknya semua senang," kenang Suharti membandingkan suasana kontras hari ini dengan seminggu lalu.
Benar saja. Penggusuran itu pun tidak tertahankan. Dengan bantuan buldozer dan ribuan aparat, warga dibuat tunduk tertindas. Puluhan laki-laki yang mencoba bertahan dengan memblokir jalan hingga melempari batu ke arah petugas, sia-sia saja.
Bruk
rumah-rumah itu pun tercabik-cabik. Termasuk musholla, TK dan fasilitas bermain yang telah dibangun lima tahun lalu itu.
"Benar-benar hadian kemerdekaan paling jelek," sesal Suharti dengan bahasa Jawanya yang medok.
(Ari/yid)