JAKARTA - Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  dengan Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK) seperti perang dingin. Kedua institusi  negara itu kini saling mempersiapkan instrumen untuk mengawasi satu sama  lain.
 Setelah KPK mendapat pintu untuk mengawasi  pembahasan RAPBN di parlemen, kalangan DPR juga mempersiapkan mekanisme untuk  mengawasi kinerja lembaga antikorupsi itu. Sejumlah anggota DPR menegaskan akan  lebih ketat mengontrol serta mengawasi kerja KPK.
 ''Perlu saya tegaskan, DPR tidak begitu saja  mengizinkan KPK masuk dalam rapat-rapat di DPR. Kalau KPK mau ikut sidang, harus  seizin DPR,'' tegas Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR Gayus Lumbuun kepada  Jawa Pos kemarin (9/8).
 Menurut dia, DPR akan meningkatkan pengawasan  terhadap KPK lewat komisi III yang membidangi hukum, perundang-undangan, HAM,  dan keamanan. Misalnya, komisi III kini menggodok tata cara atau mekanisme  penyadapan yang dilakukan KPK.
 Anggota DPR dari FPDIP itu menyebutkan bahwa KPK  harus menjelaskan kepada para wakil rakyat tentang mekanisme penyadapan. ''KPK  tidak boleh lagi sembarangan menyadap anggota DPR. Kontrol kepada KPK dalam  rangka menjalankan fungsi pengawasan yang dimiliki DPR,'' jelasnya.
 Sebagaimana diketahui, investigasi korupsi yang  dilakukan KPK lewat penyadapan telepon dan SMS telah menangkap sejumlah anggota  DPR. Termasuk, Al Amin Nasution, anggota FPPP yang tertangkap basah menerima  suap dari Pemkab Bintan. Saat ini, beberapa anggota DPR meringkuk di tahanan KPK  dengan berbagai kasus korupsi.
 Gayus mengungkapkan, memang ada yang mengusulkan  agar DPR pasca-Pemilu 2009 membentuk komisi baru yang khusus membidangi korupsi.  Semacam komisi antikorupsi. Sebab, selama ini, cakupan pembahasan korupsi di  Komisi III DPR kurang luas karena berbenturan dengan tugas pengawasan di bidang  perundangan, HAM, serta keamanan.
 ''Mungkin bisa saja dibentuk komisi khusus  antikorupsi di DPR agar peran DPR ikut memberantas korupsi juga terlihat. Tapi,  tidak untuk saat ini. Sekarang cukup komisi III itu,'' paparnya.
 Mitra kerja komisi antikorupsi itu nanti adalah KPK  serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sementara itu,  mitra kerja komisi hukum (saat ini komisi III) adalah Departemen Hukum dan Hak  Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi  Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, Komisi Nasional HAM, Setjen Mahkamah  Agung, Setjen Mahkamah Konstitusi, Setjen MPR, Setjen DPD, Badan Pembinaan Hukum  Nasional, serta Komisi Yudisial.
 ''Namun, untuk saat ini, konsentrasi pengawasan  kepada KPK hanya ada di Komisi III DPR. Komisi antikorupsi bisa saja dibahas  oleh anggota baru DPR pasca-Pemilu 2009,'' ujarnya.
 Yang jelas, kata dia, KPK tetap akan diawasi oleh  DPR. Misalnya, terkait dengan bujet dan anggaran.
 Politikus PBB Hamdan Zoelva menambahkan, kiprah KPK  memang harus dikontrol agar tidak melenceng dari semangat awal saat dibentuk.  Dalam penanganan korupsi, kata dia, KPK harus menjalankan fungsi koordinasi,  supervisi (penyidikan), solusi (pencegahan), dan monitoring. ''Peran utama KPK  adalah memberi pendidikan dan melakukan pencegahan. Tidak langsung menjadi  eksekutor,'' tegas Hamdan di Jakarta kemarin.
 Dia menilai, kengototan KPK mengikuti langsung  rapat di DPR merupakan tindakan yang kurang tepat. ''KPK tidak harus face to  face terlibat langsung. Seharusnya KPK cukup memeriksa hasil pembahasan dan  memberi rekomendasi jika dinilai ada yang menjurus pada penyelewengan  anggaran,'' ujarnya.
 Mantan anggota DPR dari PBB tersebut menyatakan,  secara historis, DPR selalu meng-up date pembentukan komisi sesuai kepentingan  dan beban kerja DPR. Misalnya, pada Pemilu 1999 menghasilkan sembilan (IX)  komisi. Namun, pada Pemilu 2004, DPR memekarkan komisi menjadi sebelas (XI)  komisi. Ada komisi yang dipecah cakupannya dengan membuat komisi  baru.
 Merujuk kondisi saat ini, kata dia, bisa saja  dibentuk komisi baru yang khusus menangani korupsi. Komisi antikorupsi tersebut  akan menjadi mitra KPK. ''Kalau sudah seperti itu, KPK tidak perlu repot-repot  minta ikut sidang DPR. Tinggal jalan saja dengan komisi antikorupsi yang  dibentuk itu,'' jelasnya. 
Sutan Bhatoegana, sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR, menuturkan, dirinya juga khawatir tidak ada yang mengontrol KPK. Sebab, kata dia, sampai saat ini, Komisi III DPR terkesan tidak fokus membahas agenda korupsi pada sidang-sidangnya. ''Mungkin saja perlu dibentuk komisi antikorupsi agar fungsi pengawasan DPR bisa lebih maksimal,'' tegasnya.
 Sutan Bhatoegana, sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR, menuturkan, dirinya juga khawatir tidak ada yang mengontrol KPK. Sebab, kata dia, sampai saat ini, Komisi III DPR terkesan tidak fokus membahas agenda korupsi pada sidang-sidangnya. ''Mungkin saja perlu dibentuk komisi antikorupsi agar fungsi pengawasan DPR bisa lebih maksimal,'' tegasnya.
Secara teknis, komisi antikorupsi DPR berjalan  bersama KPK. Bahkan, bisa juga komisi antikorupsi DPR mendapat kewenangan  aktivitas kerja seperti yang dimiliki KPK.
 Anggota Komisi VI DPR Zulkifli Hasan menambahkan,  meski telah diizinkan bisa mengikuti rapat pembahasan anggaran di DPR, KPK harus  bekerja sesuai tugasnya. KPK mengawasi penyusunan anggaran, DPR bertugas di  fungsi pengawasan, budgeting, dan membuat UU.
 ''Semestinya, memang bukan siapa harus mengawasi  siapa, tapi semua harus tetap bekerja sesuai tugas dan fungsi masing-masing,''  ujarnya kemarin.
 (yun)
 
  