Awal bulan ini, DPR resmi membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Kenaikan BBM. Tujuan pansus ini, menelusuri kesalahan pengelolaan, kebijakan publik, dan kinerja pemerintah sehingga menaikkan harga BBM pada Mei silam. Berkait dengan itu, Pertamina bersama pemerintah dan BP Migas menjadi sasaran utama penyelidikan Pansus BBM DPR.
Direktur Utama PT Pertamina Persero, Ari H. Soemarno, tidak khawatir menghadapi soal itu. Ari menyatakan siap menjawab semua dugaan miring, termasuk isu mafia minyak. Apalagi, pihaknya sudah berulang kali memberikan penjelasan mengenai pola pengadaan minyak mentah dan BBM ke Komisi VII DPR. "Jadi, bahan sudah ada semua," kata mantan Direktur Utama Petral itu.
Apa saja data dan fakta yang sudah disiapkan Pertamina? Berikut penuturan Ari kepada Astari Yanuarti, Hatim Ilwan, dan pewarta foto Jongki Handianto dari GATRA di Ruang Jodhipati, Bimasena Club, Jakarta, Senin lalu.
Apa persiapan Pertamina menghadapi Pansus Hak Angket Kenaikan BBM?
Nggak ada yang khusus, karena kami sudah menjelaskan pandangan kami ke Komisi VII DPR, khususnya pada pertemuan dua-tiga bulan terakhir. Pertanyaan mereka arahnya ke manajemen mikro, misalnya soal tender jangan hanya empat hari tapi diperpanjang. Justru kami ingin me-lock bahwa itu sudah pasti waktunya tiap bulan sekitar tanggal 10-15. Jika waktu makin lama, harga makin bergejolak. Itu hasil pengamatan kami di pasar, jangan terus disalahin. Sama politisi lagi, yang mungkin temannya pedagang.
Waktu dulu rezim cost plus fee memang banyak pertanyaan, karena sistem pengadaan barang kami berpengaruh langsung pada anggaran negara. Sebab minyaknya milik pemerintah, diolah di kilang pemerintah, dan produknya pemerintah. Tapi sekarang, untuk produk itu, Pertamina beli dari pemerintah. Maka, yang terpengaruh itu hanya cost serta untung-rugi Pertamina.
Sebetulnya kalau mau benchmark, apakah kami lebih murah dan lebih cost-efficient, maka benchmark-lah dengan perusahaan lain. Salah satu tolok ukurnya adalah Shell: Mengapa Shell nggak bisa jual lebih murah, padahal hanya di Jakarta. Saya jual di seluruh Indonesia. Itu yang harus dilihat.
Dan bisa juga dilihat apakah biaya pengadaan kami itu lebih mahal dari di Malaysia. Menurut survei kami, nggak. Malaysia terdiri dari Malaysia Barat dan Malaysia Timur, sementara kita terdiri dari belasan ribu pulau dengan yang dijangkau Pertamina beberapa puluh pulau. Kok, hasilnya sama? Ini karena kami menganut cost competitive, efisiensi, dan keandalan. Dengan tiga dasar inilah kami melaksanakan pembelian kami. Kami sudah sangat transparan dan kompetitif dalam hal pengadaan.
Saya sudah minta pada direktur untuk menyiapkan diri. Tak ada rapat khusus karena bahan sudah ada semua, dan itu sudah cukup. Jadi, kalau soal transparan, bolehlah. Tapi, kalau nanti ditanya strategi bisnis, misalnya soal partner Anda siapa nanti di Natuna, ya, belum tahu. Caranya milih gimana, ya, belum lihat. Karena ini belum waktunya jadi konsumsi masyarakat luas. Saya tak ingin strategi internal kami dibaca pihak lain. Itu harap dipahami.
Sejauh ini, bisakah hal itu dipahami oleh Komisi VII DPR?
Mereka kadang-kadang masih mempertanyakan. Misalnya, kemarin mereka tanya, mana kontrak-kontrak Pertamina? Saya nggak bisa kasih karena itu terkait dengan pihak lain yang di dalamnya ada klausul bahwa kontrak ini tak bisa disampaikan ke pihak ketiga tanpa persetujuan mereka. Saya berpegang teguh nggak bisa, karena saya bisa kena krisis kepercayaan dan bisa kena tuntut mitra saya. Itu yang jadi batasannya. Kalau soal transparan, kami sampaikan siapa saja yang beli minyak, dari mana saja kami beli produk.
Soal harga pun akan dibuka?
Iya, harganya pun kami kasihtahu. Dulu ribut-ribut soal minyak Zatapi, lalu kami keluarin harga segini, ini (gold manor) beli segini, yang lain nawarin segini. Ternyata Zatapi itu memberikan keuntungan.
Tanggapan Pertamina soal penghitungan subsidi BBM versi Pak Kwik?
Pak Kwik memandang minyak hanya untuk minyak, dalam arti minyak yang didapat dari perut bumi dihitung akan menghasilkan BBM semuanya dan langsung di pakai semua oleh masyarakat. Sehingga jangan berpikir pendapatan minyak ini akan dipakai untuk kepentingan lain.
Nah itu beda dengan pemerintah yang pendapatan minyak masuk dalam penerimaan, sedangkan subsidi masuk dalam sisi pengeluaran. Yang keduanya harus seimbang karena kita menganut balance budget. Begitu saja.
Ini yang harus diklarifikasi, karena kelihatannya Pak Kwik mencurigai, pemerintah yang menjual dengan harga pasar itu uangnya ke mana dan akuntansinya gimana?. Kita kan beli minyak dari pemerintah seharga ICP yang sekarang ini 130-an USD, ke mana itu semua? Kita nggak tahu. Jadi ya tanya pemerintah.
Bagaimana mekanisme pembelian minyak yang dilakukan Pertamina?
Sangat straight forward kalau yang dari pemerintah. Kalau yang dari impor, tiap bulan ada dua macam pembelian, spot dan term. Kalau yang term itu sekitar 70 persen, sisanya spot. Dari yang term itu, ada satu yang sifatnya evergreen karena nggak ada masa berlakunya, yaitu dari Arab Saudi 150.000 barel per hari dari total impor 350.000 barel per hari. Yang 200.000 barel itu minyak mentah jenis sweet yang belerangnya rendah, karena kilang kami hanya bisa yang mengelola sweet (ada delapan kilang minyak Pertamina --Red.). Hanya kilang Cilacap yang bisa mengelola minyak impor dari Saudi berjenis shower.
Semua pembelian dilakukan dengan tender atau pemilihan langsung dengan membandingkan harga. Kami tak boleh lakukan tunjuk langsung, kecuali untuk perusahaan internasional atau anak perusahaannya. Itu pun harus ada pembanding harga yang kami lihat dari publikasi di pasar minyak yang sangat transparan. Karena ada institusi yang mencatat semua transaksi, yakni Platts, APPI, Bloomberg, Petroluem Argus, dan sebagainya. Tiap transaksi kami pun dicatat, kalau lebih rendah atau tinggi akan dipertanyakan. Jadi, pasar itu sangat transparan.
Kami melakukan pembelian itu berdasarkan daftar mitra usaha terpilih yang sudah memenuhi persyaratan (sambil menunjukkan daftar 42 perusahaan untuk pengadaan minyak mentah dan 50 perusahaan untuk produk BBM --Red.). Kami ingin hanya perusahaan bonafid yang mampu men-deliver.
Artinya, mafia minyak tidak ada?
Lihat saja pola pengadaan kami. Katanya, si ini dapat sekian, si itu dapat sekian. Coba saja dilihat datanya (sembari menunjukkan paper ringkas setebal 53 halaman tentang penjelasan Pertamina terkait dengan pengadaan minyak mentah dan BBM --Red.).
Tapi, kalangan DPR yakin ada mafia minyak, bahkan ada satu pengusaha yang mengutip biaya US$ 2 per barel sehingga bisa mendapat untung Rp 2 trilyun setahun. Komentar Anda?
Lho, kalau beli minyak, gimana nggak trilyunan. Wong satu kargo kecil itu saja sudah 600.000 barel, nilainya sudah US$ 80 juta-US$ 90 juta. Jadi, kita itu impor minyak mentah 350.000 barel per hari, produk BBM sekitar 380.000 barel per hari. Total bisa 700.000 barel per hari, nilainya sekitar US$ 100 juta per hari, jadi setahun US$ 365 juta. Kalau nilainya segitu, mau mafiain gimana? Kuat bener uangnya. Ya, nggak bisa.
Jadi, tidak benar ada pengusaha yang mengambil keuntungan terlalu banyak?
Nggak ada. Lagipula, kami nggak pernah beli dari broker sejak tahun 2002. Trader itu bukan broker. Itu yang anggota dewan tidak tahu. Lalu kami jelasin bedanya apa. Setiap perusahaan membuat trading company, Petco, PTT Trading, Total Trading. Kami punya Petral. Kenapa begitu? Karena perusahaan itu perlu pembelian dan penjualan di pasar.
Sepertinya Anda menilai, di balik pansus ini, ada hal yang menyangkut bisnis?
Saya sih terus terang saja. Dapat dari mana data-data itu, mungkin dari pedagang. Saya memang melihat ada indikasi begitu, karena ini masalah manajemen mikro. Kalau seseorang salah, maka itu pidana. Harusnya itulah yang ditindak. Aturan kita sudah baku sejak 2002 dan sampai 2005 saat terakhir kita anut cost plus fee. Sudah diaudit tiap tahun oleh BPK dan BPKP, dan tidak ada masalah. Nah, sekarang kita menggunakan prosedur yang beda, malah dimasalahin. Saya bingung.
Sedangkan tolok ukur saya itu profit. Saya selalu minta di-benchmark-lah dengan perusahaan lain. Katanya Pertamina harus lebih hebat dari Petronas. Itu berarti pola operasi, cost efisiensi, harus lebih hebat. Itu saja.
Kalau ada yang bilang you mana bisa seperti Petronas, cost you saja begitu tinggi. Buktiin itu. Panggil Petronas, Shell, BP. Bener nggak pola begini? Petronas itu bisa maju karena intervensi pemerintah minimal. Jadi, mereka bisa beroperasi leluasa dengan menerapkan praktek-pratek bisnis wajar. Nah, kami juga sudah tandatangani pakta integritas serta charter Pertamina. Kalau itu juga nggak dipercaya, ya, sudah, saya nggak ngerti lagi deh.
Kami perlu dukungan dan pemahaman masyarakat. Itulah yang kami lakukan sekarang, Pertamina itu dulunya memang begitu, tapi sekarang nggak gitu. Program transformasi itu membuat perubahan luar biasa besar sehingga banyak yang nggak senang juga, karena privilesenya hilang. Ada yang protes dari dalam pula. Itulah yang terjadi, sehingga mungkin ada yang membocorkan data ke luar. Kalau data itu diinterpretasikan secara benar sih, nggak apa-apa. Rupanya ini sinergi dengan orang-orang luar yang juga punya kepentingan.
Tanggapan atas usulan penggantian patokan harga minyak MOPS plus Alpha?
MOPS (Mids Oil Platts of Singapore) itu adalah untuk produk BBM. Kalau minyak mentah itu Platt saja. Nah, MOPS itu acuan di Asia Tenggara karena mencatat lebih dari 70 persen transaksi di regional. Sehingga mengapa itu yang dijadikan acuan. Jadi, MOPS itu adalah referensi yang diakui sebagai harga FOB Singapura. Karena Singapura itu pusat tangki penimbunan dan kilang, mereka punya kemampuan pengilangan 1,2 juta barel. Lebih besar daripada seluruh Indonesia.
Pemerintah Singapura itu punya sertifikasi approved oil trader yang diberikan oleh Menteri Perdagangan. Yang dapat itu bisa mendapatkan keringanan pajak 5 persen. Tapi persyaratannya, harus transparan dan dicatatkan. Platts ini mencatat, analisis, dan buat balance, lalu bilang inilah harga rata-rata harian, misalnya harga dasarnya US$ 100. Tapi masih ada premium dan diskon. Ini tergantung berbagai faktor seperti ada orang pegang stok. Dia tahu kilang Singapura mati sehingga stok premium dan solar kurang, ya, dia tahan.
Kerjaan trader itu, dia beli dulu dari kilang. Dan kilang itu lebih senang sama trader karena mereka beri jaminan: saya beli terus deh. Jadi, trader itu perantara yang ambil posisi karena punya barang. Kalau broker nggak punya barang. Dia tukang ngomong doang, dapat komisi. Kami nggak mau yang kayak gitu, karena ikatan antara pemilik barang dan broker itu loose. Kalau nanti mereka nggak sepakat harga sehingga nggak bisa disuplai, bagaimana kita? Kami bisa saja kasih close penalty, tapi kami nggak produksi dan cari pengganti dan harus cari spot sesaat. Biasanya itu mahal.
Kami sih pasti selalu berusaha cost competitive, misalnya langsung membeli dari Kuwait. Tapi Kuwait ini nggak mau jual lebih dari itu. Saya sudah minta dengan mengirim beberapa kali surat resmi ke KPC. Dulu cuma dua kargo, yaitu 1,2 juta barel. Setelah saya datang, langsung ditambahin satu kargo solar sehingga total menjadi 1,8 juta barel. Saya minta tambah lagi untuk premium. Mereka jawab, nggak ah karena exposure kami ke Pertamina sudah terlalu tinggi. Karena itu risiko bagi dia.
Mungkin Pertamina dilihat belum meyakinkan dan kredibel?
Nggak juga. Saya bilang begini, pembelian yang tiga kargo itu telegrafic transfer, nggak mesti buka L/C. Nah, untuk pembelian kargo selanjutnya, saya buka L/C dari bank internasional, tapi mereka nggak mau juga.
Mengapa Pertamina tak membangun kilang-kilang baru untuk menyaingi Singapura?
Begini kita lihat sejarahnya. Lee Kuan Yew sejak dulu sudah punya pandangan Singapura harus menjadi pusat perdagangan minyak, makanya dia dorong perusahaan bangun kilang, tahun 1960-an. Dikasih innsetif, pembebasan pajak, dan tanah murah. Jadilah seperti sekarang. Saat ini kalau orang mau ekspansi di Singapura, pemerintah mereka ngawal. You mau apa perlu apa? Makanya mereka berkembang terus, sekarang pusat petrokimia juga di sana ada pabrik aromatik, olefin segala macam. Jurong direklamasi di stulah pabrik2 itu bertengger.
Nah kilang minyak itu selalu menghadapi ketidakpastian kalau ditinjau dari keekonomian murni. Dilihat dari selisih harga minyak dengan harga produk. Kalau positifnya besar maka margin besar. Tapi siapa yang bisa menjamin margin terus besar. Karena sesuai sejarah selama ini ada waktu margin kilang itu kecil. Di mana terjadi over supply dari kilang, sehingga margin bisa negatif.
Kita sebagai yang mau menanam duit harus tahu garansi apa yang bisa diberikan, karena modal investasi dan modal kerjanya besar. Bayangkan untuk kapasitas 200 ribu barel sehari atau 6 juta/bulan dengan harga minyak mentah 150 USD/barel maka modal kerja 900 juta USD/bulan untuk beli minyak saja, harga produknya beda 5-10 USD. Jadi margin saya cuma berapa 60 juta USD/bulan. Umumnya jika investment rate of return (IRR) di bawah 12 persen pasti nggak mau.
Gimana menjamin supaya IRR bagus. Ada beberapa, misalnya menurunkan biaya produksi dan memberikan kemudahaan investor untuk misalnya pembebasan bea masuk, pajak korporasi, PPN yang sudah dilakukan Singapura.
Pemerintah kita belum lakukan itu?
Pemerintah kita masih ragu-ragu. Sekarang begini, saya sudah bicara sama Iran, mereka bilang punya minyak segini dan akan dijual segini, lalu mereka tanya insentif apa yang bisa kita dapat dari pemerintah Indonesia.
Jadi dengan kondisi begini, Pertamina belum berniat membangun kilang baru?
Nggak kebayang karena IRR-nya rendah. Kita bangun di Cilacap untuk ekpansi, IRR-nya cuma 10-11 persen, tapi rupanya masih ada investor yang mau. Mitsui, karena dia ambil 80 persen Pertamina 20 persen. Dan dia lihat jangka panjangnya, rupanya orang yang kelebihan likuiditas juga banyak. Ini pun kita akan coba minta insentif supaya misalnya bea masuk barangnya dihilangkan. Meskipun produknya buat ekspor tapi untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri jadi ada justifikasinya.
Kok berani meski IRR cuma 10-11 persen?
Saya harus berani. Untuk sekarang prioritas kilang Cilacap dan Balikpapan yang kompleksitasnya rendah. Kalau kita tak modifikasi dua kilang itu supaya meningkat kompleksitasnya dan menghasilkan produk bervariasi dan bernilai tinggi akan sulit bersaing dengan Singapura. Untuk Cilacap saja investasinya sudah 2 miliar USD. Untuk Balikpapan lebih tinggi lagi dari itu.
Kalau kilang baru dinilai tidak ekonomis, berarti Indonesia sulit mengejar Singapura?
Kalau memang soal keekonomian memang begitu, apa bedanya bikin kilang di Jawa dengan Singapura untuk suplai ke Indonesia Timur. Dua-duanya pakai kapal. Ini yang sering dijadikan argumentasi. Jadi konsentrasi pertama bereskan kilang yang ada dulu.
Kita tetap kaji kilang baru. Namun jika bangun kilang baru dikaitkan dengan impor, ya minyak mentahnya impor juga. Produksi dalam negeri nggak cukup. Tapi jangan dibandingkan dengan impor atau tidak impor. Karena dua-duanya impor, hanya nilai tambahnya diciptakan disini.
Tapi untuk jangka panjang kilang-kilang baru bisa membuat lebih efisien?
Nggak. Jadi kalau kilang itu ada di sini, maka suplai lebih handal. Memang di sisi lain, kalau saya nggak bangun kilang, saya harus beli produk BBM. Jadi ketersediaan produk terdiri dari dua faktor, yaitu kilang dan suplai minyak. Kalau saya bangun kilang di sini, maka saya hanya tergantung dengan suplai minyak. Sehingga strategi kita, kalau mau bangun kilang maka yang punya minyak ikut untuk menjamin pasokan. Ada beberapa yang sudah kita tawaran yang kita follow up dari Libya, Kuwait, dan Iran.
Beralih ke rencana penghapusan cost recovery, pendapat Anda?
Kita sebagai KPS mendapat Wilayah Kerja atas dasar bagi hasil 85:15, pengertiannya nett di luar cost recovery. Jadi kalau cost recovery dihapus, maka bagi hasil 15 itu nggak cukup dong buat saya.
Mengapa cost recovery Pertamina lebih tinggi dari yang lain?
Memang kita relatif tinggi 11,35 USD/barel. Tapi harus tahu mengapa kita tinggi misalnya dibandingkan dengan Caltex yang hanya 5-6 USD/barel. Saya bilang Caltex itu di satu wilayah bisa menghasilkan 400 ribu barel. Saya 150 ribu barel di 60-an wilayah. Malah ada yang produksinya kecil hanya 500 barel. Akibatnya ada yang cost-nya sampai 20 USD, meski pun ada yang hanya 3-4 USD. Kalau itu kita tinggal, gimana kita tinggalin memang lapangan begitu, kalau dikelola yang lain memang bisa lebih murah? Nggak juga. Tapi dengan harga minyak 130 USD/barel, jika costnya 20 USD seharusnya kita oke saja. Tapi yang perlu diaudit apakah itu merefleksi biaya sebenarnya dan itu wajar.
Mengenai cost recovery yang meningkat nggak normal dibandingkan masa lalu ini terjadi karena eskalasi harga itu gila. Untuk ngebor saja berapa? Dulu nyewa drilling rig itu 40-50 ribu/hari sekarang bisa 300-400 ribu/hari. Dulu ngebor satu sumur on-shore itu cukup 3 juta sekarang 10 juta, di off shore sekarang 30-40 juta dari 10-15 juta.
Akibat harga minyak juga, biaya transportasi juga naik, ongkos services juga naik. Ditambah lagi masa minyak gampang sudah lewat. Dalam arti lokasinya jauh untuk sumur baru, sumur tua sehingga nyedot harus pakai teknologi tambahan, sehingga lebih mahal. Kita bisa pertahankan produksi tapi biaya lebih mahal.
Kayak Cepu, ongkos produksinya nggak akan rendah, karena dia butuh water flooding besar untuk dorong minyak keluar. Itulah faktor-faktornya. Bukan karena perusahaan minyaknya mau nipu, mau nakal, bukan karena mau main-main.
Lebih baik mana KPS dengan Kontrak Karya dengan sistem royalti?
Nah itu yang harus dilihat bener nggak. Dulu filosofi kontrak bagi hasil itu pasal 33 UUD 1945. Dalam KPS itu aset nggak diserahin ke pelaksana, mereka hanya hak ekonomi. Hak penambangan dan hak mineral tetap di pemerintah. KPS tak boleh membukukan itu sebagai aset dia. Tapi ini diakalin sehingga bisa diterima secara akuntansi. Kalau you punya resources 100 dan potensi menghasilkan 10/bulan. Yang ekspektasi 10 ini lah yang bisa dimasukin sebagai future revenue. Dulu nggak bisa diterima sekarang bisa, nggak ngertilah itu.
Jadi KPS ini lebih mumpuni terhadap pasal 33 daripada model lain. Sekarang diperdebatkan lagi. Saya juga nggak ngertilah karena bukan ahli hukum, saya ini cuma insinyur yang ngerti manajemen dan ekonomi sedikit. Bagi perusahaan, apa pun yang mau dipilih silakan, tapi ketentuan harus jelas.
[Laporan Utama, Gatra Nomor 37 Beredar Kamis, 24 Juli 2008]
Direktur Utama PT Pertamina Persero, Ari H. Soemarno, tidak khawatir menghadapi soal itu. Ari menyatakan siap menjawab semua dugaan miring, termasuk isu mafia minyak. Apalagi, pihaknya sudah berulang kali memberikan penjelasan mengenai pola pengadaan minyak mentah dan BBM ke Komisi VII DPR. "Jadi, bahan sudah ada semua," kata mantan Direktur Utama Petral itu.
Apa saja data dan fakta yang sudah disiapkan Pertamina? Berikut penuturan Ari kepada Astari Yanuarti, Hatim Ilwan, dan pewarta foto Jongki Handianto dari GATRA di Ruang Jodhipati, Bimasena Club, Jakarta, Senin lalu.
Apa persiapan Pertamina menghadapi Pansus Hak Angket Kenaikan BBM?
Nggak ada yang khusus, karena kami sudah menjelaskan pandangan kami ke Komisi VII DPR, khususnya pada pertemuan dua-tiga bulan terakhir. Pertanyaan mereka arahnya ke manajemen mikro, misalnya soal tender jangan hanya empat hari tapi diperpanjang. Justru kami ingin me-lock bahwa itu sudah pasti waktunya tiap bulan sekitar tanggal 10-15. Jika waktu makin lama, harga makin bergejolak. Itu hasil pengamatan kami di pasar, jangan terus disalahin. Sama politisi lagi, yang mungkin temannya pedagang.
Waktu dulu rezim cost plus fee memang banyak pertanyaan, karena sistem pengadaan barang kami berpengaruh langsung pada anggaran negara. Sebab minyaknya milik pemerintah, diolah di kilang pemerintah, dan produknya pemerintah. Tapi sekarang, untuk produk itu, Pertamina beli dari pemerintah. Maka, yang terpengaruh itu hanya cost serta untung-rugi Pertamina.
Sebetulnya kalau mau benchmark, apakah kami lebih murah dan lebih cost-efficient, maka benchmark-lah dengan perusahaan lain. Salah satu tolok ukurnya adalah Shell: Mengapa Shell nggak bisa jual lebih murah, padahal hanya di Jakarta. Saya jual di seluruh Indonesia. Itu yang harus dilihat.
Dan bisa juga dilihat apakah biaya pengadaan kami itu lebih mahal dari di Malaysia. Menurut survei kami, nggak. Malaysia terdiri dari Malaysia Barat dan Malaysia Timur, sementara kita terdiri dari belasan ribu pulau dengan yang dijangkau Pertamina beberapa puluh pulau. Kok, hasilnya sama? Ini karena kami menganut cost competitive, efisiensi, dan keandalan. Dengan tiga dasar inilah kami melaksanakan pembelian kami. Kami sudah sangat transparan dan kompetitif dalam hal pengadaan.
Saya sudah minta pada direktur untuk menyiapkan diri. Tak ada rapat khusus karena bahan sudah ada semua, dan itu sudah cukup. Jadi, kalau soal transparan, bolehlah. Tapi, kalau nanti ditanya strategi bisnis, misalnya soal partner Anda siapa nanti di Natuna, ya, belum tahu. Caranya milih gimana, ya, belum lihat. Karena ini belum waktunya jadi konsumsi masyarakat luas. Saya tak ingin strategi internal kami dibaca pihak lain. Itu harap dipahami.
Sejauh ini, bisakah hal itu dipahami oleh Komisi VII DPR?
Mereka kadang-kadang masih mempertanyakan. Misalnya, kemarin mereka tanya, mana kontrak-kontrak Pertamina? Saya nggak bisa kasih karena itu terkait dengan pihak lain yang di dalamnya ada klausul bahwa kontrak ini tak bisa disampaikan ke pihak ketiga tanpa persetujuan mereka. Saya berpegang teguh nggak bisa, karena saya bisa kena krisis kepercayaan dan bisa kena tuntut mitra saya. Itu yang jadi batasannya. Kalau soal transparan, kami sampaikan siapa saja yang beli minyak, dari mana saja kami beli produk.
Soal harga pun akan dibuka?
Iya, harganya pun kami kasihtahu. Dulu ribut-ribut soal minyak Zatapi, lalu kami keluarin harga segini, ini (gold manor) beli segini, yang lain nawarin segini. Ternyata Zatapi itu memberikan keuntungan.
Tanggapan Pertamina soal penghitungan subsidi BBM versi Pak Kwik?
Pak Kwik memandang minyak hanya untuk minyak, dalam arti minyak yang didapat dari perut bumi dihitung akan menghasilkan BBM semuanya dan langsung di pakai semua oleh masyarakat. Sehingga jangan berpikir pendapatan minyak ini akan dipakai untuk kepentingan lain.
Nah itu beda dengan pemerintah yang pendapatan minyak masuk dalam penerimaan, sedangkan subsidi masuk dalam sisi pengeluaran. Yang keduanya harus seimbang karena kita menganut balance budget. Begitu saja.
Ini yang harus diklarifikasi, karena kelihatannya Pak Kwik mencurigai, pemerintah yang menjual dengan harga pasar itu uangnya ke mana dan akuntansinya gimana?. Kita kan beli minyak dari pemerintah seharga ICP yang sekarang ini 130-an USD, ke mana itu semua? Kita nggak tahu. Jadi ya tanya pemerintah.
Bagaimana mekanisme pembelian minyak yang dilakukan Pertamina?
Sangat straight forward kalau yang dari pemerintah. Kalau yang dari impor, tiap bulan ada dua macam pembelian, spot dan term. Kalau yang term itu sekitar 70 persen, sisanya spot. Dari yang term itu, ada satu yang sifatnya evergreen karena nggak ada masa berlakunya, yaitu dari Arab Saudi 150.000 barel per hari dari total impor 350.000 barel per hari. Yang 200.000 barel itu minyak mentah jenis sweet yang belerangnya rendah, karena kilang kami hanya bisa yang mengelola sweet (ada delapan kilang minyak Pertamina --Red.). Hanya kilang Cilacap yang bisa mengelola minyak impor dari Saudi berjenis shower.
Semua pembelian dilakukan dengan tender atau pemilihan langsung dengan membandingkan harga. Kami tak boleh lakukan tunjuk langsung, kecuali untuk perusahaan internasional atau anak perusahaannya. Itu pun harus ada pembanding harga yang kami lihat dari publikasi di pasar minyak yang sangat transparan. Karena ada institusi yang mencatat semua transaksi, yakni Platts, APPI, Bloomberg, Petroluem Argus, dan sebagainya. Tiap transaksi kami pun dicatat, kalau lebih rendah atau tinggi akan dipertanyakan. Jadi, pasar itu sangat transparan.
Kami melakukan pembelian itu berdasarkan daftar mitra usaha terpilih yang sudah memenuhi persyaratan (sambil menunjukkan daftar 42 perusahaan untuk pengadaan minyak mentah dan 50 perusahaan untuk produk BBM --Red.). Kami ingin hanya perusahaan bonafid yang mampu men-deliver.
Artinya, mafia minyak tidak ada?
Lihat saja pola pengadaan kami. Katanya, si ini dapat sekian, si itu dapat sekian. Coba saja dilihat datanya (sembari menunjukkan paper ringkas setebal 53 halaman tentang penjelasan Pertamina terkait dengan pengadaan minyak mentah dan BBM --Red.).
Tapi, kalangan DPR yakin ada mafia minyak, bahkan ada satu pengusaha yang mengutip biaya US$ 2 per barel sehingga bisa mendapat untung Rp 2 trilyun setahun. Komentar Anda?
Lho, kalau beli minyak, gimana nggak trilyunan. Wong satu kargo kecil itu saja sudah 600.000 barel, nilainya sudah US$ 80 juta-US$ 90 juta. Jadi, kita itu impor minyak mentah 350.000 barel per hari, produk BBM sekitar 380.000 barel per hari. Total bisa 700.000 barel per hari, nilainya sekitar US$ 100 juta per hari, jadi setahun US$ 365 juta. Kalau nilainya segitu, mau mafiain gimana? Kuat bener uangnya. Ya, nggak bisa.
Jadi, tidak benar ada pengusaha yang mengambil keuntungan terlalu banyak?
Nggak ada. Lagipula, kami nggak pernah beli dari broker sejak tahun 2002. Trader itu bukan broker. Itu yang anggota dewan tidak tahu. Lalu kami jelasin bedanya apa. Setiap perusahaan membuat trading company, Petco, PTT Trading, Total Trading. Kami punya Petral. Kenapa begitu? Karena perusahaan itu perlu pembelian dan penjualan di pasar.
Sepertinya Anda menilai, di balik pansus ini, ada hal yang menyangkut bisnis?
Saya sih terus terang saja. Dapat dari mana data-data itu, mungkin dari pedagang. Saya memang melihat ada indikasi begitu, karena ini masalah manajemen mikro. Kalau seseorang salah, maka itu pidana. Harusnya itulah yang ditindak. Aturan kita sudah baku sejak 2002 dan sampai 2005 saat terakhir kita anut cost plus fee. Sudah diaudit tiap tahun oleh BPK dan BPKP, dan tidak ada masalah. Nah, sekarang kita menggunakan prosedur yang beda, malah dimasalahin. Saya bingung.
Sedangkan tolok ukur saya itu profit. Saya selalu minta di-benchmark-lah dengan perusahaan lain. Katanya Pertamina harus lebih hebat dari Petronas. Itu berarti pola operasi, cost efisiensi, harus lebih hebat. Itu saja.
Kalau ada yang bilang you mana bisa seperti Petronas, cost you saja begitu tinggi. Buktiin itu. Panggil Petronas, Shell, BP. Bener nggak pola begini? Petronas itu bisa maju karena intervensi pemerintah minimal. Jadi, mereka bisa beroperasi leluasa dengan menerapkan praktek-pratek bisnis wajar. Nah, kami juga sudah tandatangani pakta integritas serta charter Pertamina. Kalau itu juga nggak dipercaya, ya, sudah, saya nggak ngerti lagi deh.
Kami perlu dukungan dan pemahaman masyarakat. Itulah yang kami lakukan sekarang, Pertamina itu dulunya memang begitu, tapi sekarang nggak gitu. Program transformasi itu membuat perubahan luar biasa besar sehingga banyak yang nggak senang juga, karena privilesenya hilang. Ada yang protes dari dalam pula. Itulah yang terjadi, sehingga mungkin ada yang membocorkan data ke luar. Kalau data itu diinterpretasikan secara benar sih, nggak apa-apa. Rupanya ini sinergi dengan orang-orang luar yang juga punya kepentingan.
Tanggapan atas usulan penggantian patokan harga minyak MOPS plus Alpha?
MOPS (Mids Oil Platts of Singapore) itu adalah untuk produk BBM. Kalau minyak mentah itu Platt saja. Nah, MOPS itu acuan di Asia Tenggara karena mencatat lebih dari 70 persen transaksi di regional. Sehingga mengapa itu yang dijadikan acuan. Jadi, MOPS itu adalah referensi yang diakui sebagai harga FOB Singapura. Karena Singapura itu pusat tangki penimbunan dan kilang, mereka punya kemampuan pengilangan 1,2 juta barel. Lebih besar daripada seluruh Indonesia.
Pemerintah Singapura itu punya sertifikasi approved oil trader yang diberikan oleh Menteri Perdagangan. Yang dapat itu bisa mendapatkan keringanan pajak 5 persen. Tapi persyaratannya, harus transparan dan dicatatkan. Platts ini mencatat, analisis, dan buat balance, lalu bilang inilah harga rata-rata harian, misalnya harga dasarnya US$ 100. Tapi masih ada premium dan diskon. Ini tergantung berbagai faktor seperti ada orang pegang stok. Dia tahu kilang Singapura mati sehingga stok premium dan solar kurang, ya, dia tahan.
Kerjaan trader itu, dia beli dulu dari kilang. Dan kilang itu lebih senang sama trader karena mereka beri jaminan: saya beli terus deh. Jadi, trader itu perantara yang ambil posisi karena punya barang. Kalau broker nggak punya barang. Dia tukang ngomong doang, dapat komisi. Kami nggak mau yang kayak gitu, karena ikatan antara pemilik barang dan broker itu loose. Kalau nanti mereka nggak sepakat harga sehingga nggak bisa disuplai, bagaimana kita? Kami bisa saja kasih close penalty, tapi kami nggak produksi dan cari pengganti dan harus cari spot sesaat. Biasanya itu mahal.
Kami sih pasti selalu berusaha cost competitive, misalnya langsung membeli dari Kuwait. Tapi Kuwait ini nggak mau jual lebih dari itu. Saya sudah minta dengan mengirim beberapa kali surat resmi ke KPC. Dulu cuma dua kargo, yaitu 1,2 juta barel. Setelah saya datang, langsung ditambahin satu kargo solar sehingga total menjadi 1,8 juta barel. Saya minta tambah lagi untuk premium. Mereka jawab, nggak ah karena exposure kami ke Pertamina sudah terlalu tinggi. Karena itu risiko bagi dia.
Mungkin Pertamina dilihat belum meyakinkan dan kredibel?
Nggak juga. Saya bilang begini, pembelian yang tiga kargo itu telegrafic transfer, nggak mesti buka L/C. Nah, untuk pembelian kargo selanjutnya, saya buka L/C dari bank internasional, tapi mereka nggak mau juga.
Mengapa Pertamina tak membangun kilang-kilang baru untuk menyaingi Singapura?
Begini kita lihat sejarahnya. Lee Kuan Yew sejak dulu sudah punya pandangan Singapura harus menjadi pusat perdagangan minyak, makanya dia dorong perusahaan bangun kilang, tahun 1960-an. Dikasih innsetif, pembebasan pajak, dan tanah murah. Jadilah seperti sekarang. Saat ini kalau orang mau ekspansi di Singapura, pemerintah mereka ngawal. You mau apa perlu apa? Makanya mereka berkembang terus, sekarang pusat petrokimia juga di sana ada pabrik aromatik, olefin segala macam. Jurong direklamasi di stulah pabrik2 itu bertengger.
Nah kilang minyak itu selalu menghadapi ketidakpastian kalau ditinjau dari keekonomian murni. Dilihat dari selisih harga minyak dengan harga produk. Kalau positifnya besar maka margin besar. Tapi siapa yang bisa menjamin margin terus besar. Karena sesuai sejarah selama ini ada waktu margin kilang itu kecil. Di mana terjadi over supply dari kilang, sehingga margin bisa negatif.
Kita sebagai yang mau menanam duit harus tahu garansi apa yang bisa diberikan, karena modal investasi dan modal kerjanya besar. Bayangkan untuk kapasitas 200 ribu barel sehari atau 6 juta/bulan dengan harga minyak mentah 150 USD/barel maka modal kerja 900 juta USD/bulan untuk beli minyak saja, harga produknya beda 5-10 USD. Jadi margin saya cuma berapa 60 juta USD/bulan. Umumnya jika investment rate of return (IRR) di bawah 12 persen pasti nggak mau.
Gimana menjamin supaya IRR bagus. Ada beberapa, misalnya menurunkan biaya produksi dan memberikan kemudahaan investor untuk misalnya pembebasan bea masuk, pajak korporasi, PPN yang sudah dilakukan Singapura.
Pemerintah kita belum lakukan itu?
Pemerintah kita masih ragu-ragu. Sekarang begini, saya sudah bicara sama Iran, mereka bilang punya minyak segini dan akan dijual segini, lalu mereka tanya insentif apa yang bisa kita dapat dari pemerintah Indonesia.
Jadi dengan kondisi begini, Pertamina belum berniat membangun kilang baru?
Nggak kebayang karena IRR-nya rendah. Kita bangun di Cilacap untuk ekpansi, IRR-nya cuma 10-11 persen, tapi rupanya masih ada investor yang mau. Mitsui, karena dia ambil 80 persen Pertamina 20 persen. Dan dia lihat jangka panjangnya, rupanya orang yang kelebihan likuiditas juga banyak. Ini pun kita akan coba minta insentif supaya misalnya bea masuk barangnya dihilangkan. Meskipun produknya buat ekspor tapi untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri jadi ada justifikasinya.
Kok berani meski IRR cuma 10-11 persen?
Saya harus berani. Untuk sekarang prioritas kilang Cilacap dan Balikpapan yang kompleksitasnya rendah. Kalau kita tak modifikasi dua kilang itu supaya meningkat kompleksitasnya dan menghasilkan produk bervariasi dan bernilai tinggi akan sulit bersaing dengan Singapura. Untuk Cilacap saja investasinya sudah 2 miliar USD. Untuk Balikpapan lebih tinggi lagi dari itu.
Kalau kilang baru dinilai tidak ekonomis, berarti Indonesia sulit mengejar Singapura?
Kalau memang soal keekonomian memang begitu, apa bedanya bikin kilang di Jawa dengan Singapura untuk suplai ke Indonesia Timur. Dua-duanya pakai kapal. Ini yang sering dijadikan argumentasi. Jadi konsentrasi pertama bereskan kilang yang ada dulu.
Kita tetap kaji kilang baru. Namun jika bangun kilang baru dikaitkan dengan impor, ya minyak mentahnya impor juga. Produksi dalam negeri nggak cukup. Tapi jangan dibandingkan dengan impor atau tidak impor. Karena dua-duanya impor, hanya nilai tambahnya diciptakan disini.
Tapi untuk jangka panjang kilang-kilang baru bisa membuat lebih efisien?
Nggak. Jadi kalau kilang itu ada di sini, maka suplai lebih handal. Memang di sisi lain, kalau saya nggak bangun kilang, saya harus beli produk BBM. Jadi ketersediaan produk terdiri dari dua faktor, yaitu kilang dan suplai minyak. Kalau saya bangun kilang di sini, maka saya hanya tergantung dengan suplai minyak. Sehingga strategi kita, kalau mau bangun kilang maka yang punya minyak ikut untuk menjamin pasokan. Ada beberapa yang sudah kita tawaran yang kita follow up dari Libya, Kuwait, dan Iran.
Beralih ke rencana penghapusan cost recovery, pendapat Anda?
Kita sebagai KPS mendapat Wilayah Kerja atas dasar bagi hasil 85:15, pengertiannya nett di luar cost recovery. Jadi kalau cost recovery dihapus, maka bagi hasil 15 itu nggak cukup dong buat saya.
Mengapa cost recovery Pertamina lebih tinggi dari yang lain?
Memang kita relatif tinggi 11,35 USD/barel. Tapi harus tahu mengapa kita tinggi misalnya dibandingkan dengan Caltex yang hanya 5-6 USD/barel. Saya bilang Caltex itu di satu wilayah bisa menghasilkan 400 ribu barel. Saya 150 ribu barel di 60-an wilayah. Malah ada yang produksinya kecil hanya 500 barel. Akibatnya ada yang cost-nya sampai 20 USD, meski pun ada yang hanya 3-4 USD. Kalau itu kita tinggal, gimana kita tinggalin memang lapangan begitu, kalau dikelola yang lain memang bisa lebih murah? Nggak juga. Tapi dengan harga minyak 130 USD/barel, jika costnya 20 USD seharusnya kita oke saja. Tapi yang perlu diaudit apakah itu merefleksi biaya sebenarnya dan itu wajar.
Mengenai cost recovery yang meningkat nggak normal dibandingkan masa lalu ini terjadi karena eskalasi harga itu gila. Untuk ngebor saja berapa? Dulu nyewa drilling rig itu 40-50 ribu/hari sekarang bisa 300-400 ribu/hari. Dulu ngebor satu sumur on-shore itu cukup 3 juta sekarang 10 juta, di off shore sekarang 30-40 juta dari 10-15 juta.
Akibat harga minyak juga, biaya transportasi juga naik, ongkos services juga naik. Ditambah lagi masa minyak gampang sudah lewat. Dalam arti lokasinya jauh untuk sumur baru, sumur tua sehingga nyedot harus pakai teknologi tambahan, sehingga lebih mahal. Kita bisa pertahankan produksi tapi biaya lebih mahal.
Kayak Cepu, ongkos produksinya nggak akan rendah, karena dia butuh water flooding besar untuk dorong minyak keluar. Itulah faktor-faktornya. Bukan karena perusahaan minyaknya mau nipu, mau nakal, bukan karena mau main-main.
Lebih baik mana KPS dengan Kontrak Karya dengan sistem royalti?
Nah itu yang harus dilihat bener nggak. Dulu filosofi kontrak bagi hasil itu pasal 33 UUD 1945. Dalam KPS itu aset nggak diserahin ke pelaksana, mereka hanya hak ekonomi. Hak penambangan dan hak mineral tetap di pemerintah. KPS tak boleh membukukan itu sebagai aset dia. Tapi ini diakalin sehingga bisa diterima secara akuntansi. Kalau you punya resources 100 dan potensi menghasilkan 10/bulan. Yang ekspektasi 10 ini lah yang bisa dimasukin sebagai future revenue. Dulu nggak bisa diterima sekarang bisa, nggak ngertilah itu.
Jadi KPS ini lebih mumpuni terhadap pasal 33 daripada model lain. Sekarang diperdebatkan lagi. Saya juga nggak ngertilah karena bukan ahli hukum, saya ini cuma insinyur yang ngerti manajemen dan ekonomi sedikit. Bagi perusahaan, apa pun yang mau dipilih silakan, tapi ketentuan harus jelas.
[Laporan Utama, Gatra Nomor 37 Beredar Kamis, 24 Juli 2008]
Dapatkan informasi terkini, terupdate, berimbang dan bertanggung jawab dari seluruh informasi di Indonesia di blogspot & milis :
http://newspaperindonesia.blogspot.com
http://newspaperindonesia.blogspot.com
Newspaper-Indonesia@yahoogroups.com & SuratKabar-Indonesia@yahoogroups.com
Search Engine Terpopuler Milik Anak Bangsa
http://djitu.com
http://djitu.com