Universitas Paramadina mendapat kunjungan istimewa pada Rabu siang, 23 Juli lalu. Dia adalah Arthur G. Gish, 69 tahun --biasa disapa Art Gish-- aktivis CPT (Christian Peacemaker Teams) untuk wilayah Palestina.
CPT adalah organisasi aktivis perdamaian beraliran anti-kekerasan yang bertujuan membantu para korban di wilayah konflik. Organisasi ini didirikan pada 1988 dan sudah mengirim puluhan aktivis ke daerah-daerah perang, seperti Palestina, Bosnia, Chechnya, Kolombia, Afghanistan, dan Irak.
Pada hari itu, Art bersama penerbit Mizan meluncurkan buku edisi bahasa Indonesia The Hebron Journal (2001), yang merekam berbagai kisahnya selama bertugas di Hebron. Peluncuran buku itu juga dibarengi diskusi yang menghadirkan Makarim Wibisono, mantan perwakilan tetap Indonesia di PBB.
Pada buku Art, gambar sampulnya terlihat provokatif. Tampak Art mengenakan topi merah, tanda aktivis CPT, menghadang sebuah tank Israel dengan moncong yang hanya berjarak setengah meter dari tubuhnya. Foto itu, kata Art, jadi headline di banyak surat kabar dunia, tapi tidak muncul di surat kabar Amerika.
Mengenakan kemeja biru, celana gelap, dan selop, Art yang oleh Vice President Penerbit Mizan, Putut Wijanarko, disapa "Brother Art", siang itu hanya tersenyum melihat foto tank pada 2003 itu dijadikan sampul sekaligus kain background diskusi. Ia lalu bangkit dan mengucapkan sambutan pertamanya mengkritik sampul buku itu.
"Mizan melakukan pekerjaan yang luar biasa dengan penerbitan buku ini. Tapi saya khawatir, foto itu membuat saya jadi pahlawan. Saya bukan pahlawan. Saya pengecut. Saya hanya bisa berteriak minta bantuan Tuhan," katanya.
Tidak sulit memahami makna religius di balik pengakuan "kepengecutan" itu. Art adalah jemaat Church of The Brethern, salah satu gereja di Ohio, Amerika Serikat, yang meyakini "semua perang adalah dosa" dan "Yesus memerintahkan untuk memaafkan musuh". Banyak jemaat gereja ini yang menolak wajib militer pada saat Perang Vietnam dan lebih memilih dipenjara.
Dalam diskusi, Art menjelaskan metode sangat sederhana yang disodorkan CPT untuk mengurangi kekerasan di Palestina. Slogan mereka adalah "getting in the way" alias menghalangi di tengah. Contohnya, suatu ketika, seorang pemuda Palestina dipukuli tentara Israel. Art mendekati, lalu menyodorkan wajahnya persis di muka tentara Israel itu. "Hidung kami hanya berjarak beberapa senti. Ia jadi sangat marah. Tapi perhatiannya teralih dari pemuda Palestina itu," ujarnya.
Menurut Art, tentara Israel di Hebron segan memukuli aktivis CPT karena mereka juga aktif menjalin lobi dengan komandan Israel. "Banyak tentara yang mengenali saya. Saya sering berbincang dengan komandan mereka, membujuknya untuk mengurangi aksi kekerasan terhadap warga," katanya.
Art menjuluki kehadiran para aktivis CPT yang getting in the way itu dengan grandmother's effect (efek nenek). "Sederhananya, ada beberapa hal yang tidak mau dilakukan orang kalau nenek mereka melihat. Kami kurang lebih seperti itu," tuturnya.
Art lalu memberi contoh bagaimana "efek nenek" itu bisa menyelamatkan jiwa atau harta benda. Suatu hari, ia sengaja menginap di sebuah rumah keluarga Palestina di Hebron. Siang sebelumnya, rumah itu digerebek tentara Israel yang hendak mencari teroris. Khawatir akan aksi susulan, Art memutuskan menginap di sana sekalian.
Ternyata benar. Tengah malam, ia terbangun karena jeritan para penghuni rumah. "Saya bergegas ke ruang tamu dan melihat tentara Israel mengelilingi penghuni rumah dengan senjata lengkap, menyuruh jongkok, menendang-nendang, memperlakukan mereka seperti binatang," katanya.
Kehadiran Art yang tiba-tiba di ruang tengah itu membuat tentara Israel tertegun. Mereka akhirnya hanya menggeledah rumah itu dengan alasan mencari senjata yang tidak ditemukan. "Rumah itu tidak dihancurkan. Mereka juga tidak kencing atau berak di tempat tidur seperti sering mereka lakukan," ujarnya.
Art menilai, Israel tidak serius hendak hidup berdampingan dengan warga Palestina. "Mereka selalu hendak mengambil lebih. Saya berada di Palestina ketika Amerika mengadakan Konferensi Annapolis. Pada saat pembukaan konferensi itu, tentara Israel justru membuldoser rumah warga," katanya.
Makarim Wibisono, yang hadir sebagai salah satu pembicara, mengomentari penjelasan Art dengan tilikan tajam. Menurut Makarim, keseganan tentara Israel terhadap aktivis CPT dipicu fakta bahwa banyak anggotanya, termasuk Art, adalah warga Amerika. "Siapa lagi yang ditakuti Israel selain Amerika? Sekarang, ketika taktik CPT itu dilakukan orang Zimbabwe, Asia, apakah hasilnya akan sama?" tanyanya.
Art juga mengakui fakta bahwa ia sebagai warga Amerika adalah salah satu sebab mengapa tentara Israel tidak bersikap keras kepadanya. "Saya sangat malu, tapi saya mengakui hal itu. Saya tidak menginginkan privilese. Tapi saya tidak bisa menolak siapa diri saya. Tuhan akan mengadili saya lebih keras karena privilese ini," katanya.
Basfin Siregar
[Buku, Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 31 Juli 2008]
Search Engine Terpopuler Milik Anak Bangsa
http://djitu.com
http://djitu.com